26 January 2017

Pandai Melalui Main

Dalam suatu kesempatan ketika ayah akan membantu Alaric memakai celananya, ayah terlalu terburu-buru. Ayah langsung saja mengangkat kaki Al sebelah kiri dan mencoba memasukkannya ke lubang kaki celana dimana seharusnya ayah memberikan kesempatan lebih banyak untuk Alaric mencoba. Al pun berontak dan menarik kembali kaki kirinya tersebut seraya berkata :

"Ayah... kaki kanan dulu."

Owalaa...h. Ayah jadi malu dan akhirnya meminta maaf.

Di kesempatan lainnya Alaric meminta bantuan ayah untuk mengambilkan celana panjangnya. Berhubung ayah lagi gemes-gemesnya sama dia, ayah pun memasangkan celana ke kepalanya. Tapi lihat responnya. Wajahnya menjadi cemberut lalu menarik celana tersebut dan berkata dengan ketus,

"Ishh.. Celana bukan di kepala ayah. Yang di kepala topi. Celana untuk di kaki."

Lagi-lagi ayah harus minta maaf lahir bathin kepadanya karena telah mencoba 'merusak' persepsinya tentang celana, fungsinya, serta bagaimana cara memakainya.

Alaric baru akan berusia 3 tahun di akhir bulan depan. Sepintas banyak orang merasa kagum dengannya (termasuk ayah). Mungkin di usia seperti itu, ayah belum bisa berbuat banyak. Namun sekarang Alaric bisa memberikan pendapat yang benar di usia dininya. Dari mana Alaric belajar?

Anak Belajar Melalui Main

Ketika saya menceritakan kepada teman saya bahwa Alaric tidak hanya main mobil-mobilan, namun juga main boneka dan masak-masakan, banyak yang bilang saya aneh.

"Gila lu... anak lu laki. Masa dibentuk jadi lekong," kata teman saya dengan kasar namun saya balas dengan senyum.

Ada lagi yang berkomentar seperti ini :

"Ya ampun. Ga takut anaknya jadi bencong."

Dan banyak lagi komentar miring lainnya.

Saya maklum... dan saya memahami bahwa mereka berkomentar seperti itu karena mereka belum memahami apa arti bermain bagi anak-anak usia dini.

Sara Smilansky, professor yang memfokuskan risetnya pada cara anak belajar melalui main, mengungkapkan setidaknya ada 4 jenis main anak yakni :

4 Jenis Main menurut Prof. Sara Smilansky
  • Main Fungsional
  • Main Konstruksi
  • Main Peran
  • dan Main dengan Aturan
Keempatnya memiliki tahapan dan akan muncul seiring bertambahnya usia anak. Misalnya untuk anak seusia Alaric, main yang sedang berkembang di usia 2-3 tahun adalah lanjutan main fungsional, main peran, serta sedikit main konstruksi. Tahapan seperti ini jadi bekal bagi orang tua dan guru untuk menentukan jenis mainan yang akan diberikan kepada anak.

Dari pengalaman main fungsional terhadap topi, baju, celana, dan pakaian lainnya Alaric belajar fungsi banyak benda. Kemampuan ini diperkuat dengan bagaimana prosedur memakainya yang dialirkan melalui kegiatan main peran. Saat main peran, terkadang Alaric berperan sebagai ayah yang memakaikan baju untuk bayinya sehingga dia belajar bagaimana memakai pakaian. Konsep ketauhidan tentang bagaimana aturan orang Islam memakai pakaian pun dikenalkan melalui main.

Sehingga wajar saja Alaric protes ketika saya menarik kaki kirinya ketika akan memakaikan celana, pun begitu ketika saya bercanda memasangkan celana ke kepalanya. Dia protes karena yang saya lakukan tidak sesuai dengan pengetahuan yang dia terima selama ini.

Jadi ayah bunda, jangan anggap remeh main ya. Main akan menjadi belajar jika kita (sebagai orang tua) memahami lebih banyak tentang main itu sendiri. 

7 comments:

  1. nice posting, seperti biasa, mengalir lancar. tapi kali ini ada efek kejutnya, pada scene yg ada dialog beli mainan masak2 an. haha.

    ReplyDelete
  2. Kenzo anakku juga suka main masak2an mas meskipun dia laki2. Juga main setrika2an hehehe
    Waduh aku sering pakein celana di kepala anakku huaaaa

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iya.. itu tahap main peran Mba Mei. Justru punya manfaat besar kalau pendampingan orang tua bermutu.

      Tentang celana, kadang-kadang memang maksud kita sih bercanda ya 😁😁

      Delete
  3. Menurut saya nggak pa-pa sih kalau anak laki-laki itu main boneka atau main masak-masakan.
    Boneka itu sebagai alat untuk "main peran" karena pada boneka, dia mempelajari bahwa makhluk itu punya mata, punya hidung, bisa berjalan, bisa bicara, dan lain-lain.
    Dengan begitu dia belajar bahwa di dalam dunia ini nggak akan hidup sendiri.

    Main masak-masakan juga nggak apa-apa, karena dia akan belajar untuk menyiapkan makanannya sendiri. Nanti kalau sudah besar, sudah kuliah, terpaksa hidup ngekost, dia kan juga akan belajar masak sendiri supaya nggak tergantung pada orang lain (wanita).

    Justru anak laki-laki bisa jadi banci karena dia jarang diasuh oleh ayahnya. Bukan karena main masak-masakan atau main boneka.

    ReplyDelete